MEMBANGUN KALIMANTAN SELATAN SECARA BERKELANJUTAN
Prof. Emil Salim, M.A., Ph.D.
Arus besar cairan panas batu dalam bumi membelahnya dalam lempeng-lempeng tektonik terapung semula pada “Asthenosphere” bergerak dilantai samudra dan membentuk bumi Pangaea 225 juta tahun lalu. Proses gerak cairan panas batu berlanjut dan membelah bumi dalam kawasan bumi Laurasia dan Gondwana Land 135 juta tahun lalu. Untuk kemudia terbelah menjadi Amerika Utara, Amerika Selatan, Eurasia, Afrika, India dam Antartica 65 juta tahun lalu. 65 juta tahun lalu.
Proses gerak lempeng tektonik berjalan terus untuk membentuk bumi yang kita kenal sekarang ini. Namun gerak lempeng tektonik di bawah dasar laut tidak berhenti. Sehingga benturan lempeng tektonik ini Eurasia dengan lempeng Indo-Australia di bagian selatan pulau Jawa dan lberbenturan dengan lempeng tektonik Pasifik di bagian timur membentuk rangkaian kepulauan Indonesia yang diapit dua benua, Asia dan Australia dan dua Samudera India dan Pasifik serta dikelilingi oleh energi magma aktif “cincin Api” yang mengelilingi kepualauan Indonesia dan sekaligus menjadi sumber gangguan alam berupa gempa bumi, tsunami, letusan gunung, dll. Tetapi sebaliknya hasil semburan magma gunung berapi membentuk tanah-subur di daratan.
Dalam proses terentuknya kepulauan Indonesia maka pulau Kalimantan berada di luar benturan lempeng tektonik dan di luar cincin api. Akibatnya adalah bahwa ekosistem Kalimantan berbeda dari ekosistem Sumatra, Jawa dan Indonesia Timur serta Australia yang secara khusus ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang menarik garis (Wallace Line) antara Kalimantan dan Sulawesi dan memisahkan kawasan biogeografis kelompok kepulauan wilayah Indonesia bagian tengah dengan rentang benua Asia dan Australia oleh selat laut dalam.
Lahir pendapat bahwa secara biogeografis pulau Kalimantan berbeda dengan pulau Sumater, Jawa dan Indonesia Timur. Pulau Kalimantan tidak lahir dari benturan lempeng tektonik. Karena itu maka karakter gunung yang terbentuk di Kalimantan kurang memiliki magma bumi dengan larutan silika bersuhu tinggi. Pulau Kalimantan mengalami tekanan gerak bumi sehingga membentuk kawasan pegunungan di tengah-tengah pulau Kalimantan. Namun intensitas gunung api tidaklah seaktif yang ada di Simatera, Jawa dan Indonesia Timur yang dipengaruhi oleh kehadiran “the ring of fire.”
Bentuk geografis Kalimantan didominasi oleh lahan dataran rendah. Dan karena pulau Kalimantan terletak di sekitar garis Khatulistiwa, maka curah hujannya tinggi. Kondisi alam pulau Kalimantan seperti ini mengkibatkan bahwa pulau Kalimantan memiliki kawasan lahan basah yang luas dan unik. Karena uniknya kawasan lahan basah, maka dunia Internasional menyepakati The Ramsar Convention sebagai kesepakatan internasional menyusun kerangka konservasi dalam pemanfaatan sumber daya berkawasan lahan basah di tahun 1971.
Yang diartikan sebagai “lahan basah”dalam Konvensi Ramsar mencakup wilayah payau, rawa, gambut, perairan baik alami mauoun buatan, baik permanen maupun sementara, dengan air yang mengalir atau tergenang statis, terasa tawar, payau, asin, termasuk wilayah dengan kedalaman air laut waktu surut tidak melebihi enam meter. Jelas dari pengertian “lahan basah” maka sifat dan hakekat ekosistem alaminya berbeda dengan dengan lahan biasa. Karena itu maka pola dan kebijakan pembangunannya pun tidak bisa disamakan dengan pola pemanfaatan lahan biasa. Pembangunan di daerah Kalimantan tidak bisa meniru cara pembangunan pulau Jawa, yang lain sifat ekosystemnya.
Maka pembangunan daerah Kalimantan perlu mengintegrasikan kelainan karakter ekosistem dan sumber daya alamya. Ini berarti bahwa pola pengelolaan sumber daya alam seperti halnya dipraktekkan di Jawa, Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya akan memberi hasil yang lain. Ini juga berarti bahwa merobah tatanan lingkungan dan ekosistem kawasan Kalimantan dalam pembangunan, akan justru merusak pembangunan itu sendiri. “Pembangunan sejuta Hektar di Kalimantan Tengah” adalah contoh tidak sesuainya pola pembangunan dengan karakter ekosistemnya.
Sangat menarik bahwa hasil penelitian Lamlaj. fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, oleh Tim terdiri dari Tavinayati, Mohammmad Effendy, Zakiyah dan Muhammad Taufik Hidayat, tentang perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas indikasi geografis hasil pertanian lahan basah di Kalimantan Selatan berkesimpulan bahwa 4 tanaman khas lahan basah di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala memenuhi klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis.
Untuk kabupaten Banjar: Tanaman Pangan: Padi Siam Unus dan Padi Siam Saba dan untuk tanaman Hortikultura: (1) durian si hijau, durian si japang, durian si dodol; (2) jerus siam Banjar; (3) Pisang Kepok Manurun; (4) Rambutan si Bingkok;
Untuk, Kabupaten Barito Kuala: Tanaman Pangan: Padi Siam Mutiara; Tanaman Hortikultura:(1) Kuini Anjir; (2) Nenas Tamban; (3) Rambutan Batola; (4) Jeruk Siam Batola.
Label “indikasi geografis” mampu memberi nilai tambah pada produk yang bersamgkutan, seperti terbukti pada pengalaman “Kopi Kintamani Bali”, Kopi Arabika Gayo”, “Kopi Bajawa Flores”, sehingga peranannya membantu pengenalan dan pemasaran produk. Saudara Mohamad Hanif Wisaksono memimpin Tunas Meratus untuk konservasi tanaman buah asli Kalimantan atas usahanya melestarikan, mengeksplorasi dan mendokumentasikan buah langka hutan Kalimantan Selatan ia meraih penghargaan ASTRA Satu Indonesia 2018. Hasil karyanya membuktikan bahwa lingkungan alam lahan basah Kalimantan Selatan sangat kaya dengan plasma nutfah buah-buahan yang berpotensi untuk dibudidayakan.
Potensi buah-buahan dan rempah sangat besar di Kalimantan Selatan. yang diperlukan adalah kejelian Pemerintah setempat untuk aktif membantu pencegahan dan pemberantasan hama yang bisa merusak tanaman. Disamping sifat karakter lahan basah Kalimantan Sekatan yang bisa dibudidayakan, ciri kedua alam lahan basah daerah Kalimantan Selatan adalah ekosistem hutan rawa gambut hasil akumulasi bahan organik dengan tingkat dekomposisi yang rendah.
Badan Restorasi Gambut mencatat bahwa luas kawasan hidrologis gambut yang rusak adalah KHG Sungai Barito-Sungai Alalak (20.301 ha), KHG Sungai Ular-Sungai Serapat (27.176 ha), KHG Sungai Balangan-Sungai Batanbgalai (11.008 ha) dan KHG Sungai Barito-Sungai Tapin (45.998 ha).
Pelajaran pentjng dari kebakaran hutan gambut ini adalah bahwa besar kerugian yang diderita apabila yang dirusak adalah kubah gambut yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang menjadi sumber berbagai saluran air yang kelak berkembang jadi sungai. Maka peranan kawasan tanah gambut adalah kempuannya untuk “menyimpan” karbon dari atmosfir ke dalam tanah gambut. Kemampuannya “menahan” banyak volume air mencegah banjir dimusim hujan dan menyediakan air di musim kemarau. Sehingga “hukum pertama” dalam pengelolaan hutan gambut adalah lestarikan kubah-gambut sebagai reservoir volume air.
Peranan hutan gambut yang kedua adalah sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati. Sehingga dari sinilah bermula berkembangnya berbagai ragam tanaman, serangga yang berfungsi menyebarkan bibit ke alam menghasilkan keanekaragaman hayati. Pengalaman pahit Indonesia adalah bahwa menurut Wetlands International perobahan kawasan hutan gambut di Indonesia dan Malaysia akhir-akhir ini untuk perkebunan melalui pembabatan hutan gambut dan pembuangan air lahan gambut telah memicu kebakaran hutan gambut. Jumlah total CO2 yang dibuang ke udara global adalah 2000 megaton setiap tahun akibat dekomposisi lahan gambut dan kebakaran hutan gambut. Jumlah besar ini adalah ekuivalen dengan 8 emisi global.
Dunia menderita suhu bumi yang lebih panas 1 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra industri. Karena itu Paris Agreement December 2015 berkesimpulan agar suhu bumi secara maksimal di tahun 2030 bergerak antara 1,5-2 derajat Celcius di atas masa pra-imdustri. Sehingga laju emisi CO2 dunia global perlu turun dari emisi tahunan (2016) sebesar 52 GtCO ekuivalen menjadi 25-30Gt.COe (2030) agar suhu bumi tidak semakin naik di atas 1,5 derajat Celcius.
Intergovernmental Panel on Climate Change (Oktober 2018) bersepakat supaya dampak kenaikan panas bumi tidak melewati 1,5 derajat di atas tingkat pra-industri maka mereka berkesimpulan bahwa:
- jika berlanjut pola kegiatan manusia yang menyebabkan kenaikan suhu bumi dengan 1 derajat Celcius di atas tingkat pra industri, maka, panas bumi akan mungkin mencapai 1,5 derajat antara 2030-2050;
- estimated anthropogenic global warming sekarang diperkirakan naik 0,2 derajat per dekade;
- panas bumi meliwati global annual average tercatat di banyak daerah, termasuk 2-3 kali lebih tinggi di Arctic yang mengakibatkan pencairan es di kutub bumi;
- kenaikan panas bumi yang dialami sejak pra-industri hingga kini masih terjadi dan mengakibatkan terimbasnya pada perobahan jangka panjang dalam sistem iklim, seperti kenaikan muka laut;
- Indonesia merencanakan penurunan emisi CO2 per capita sebesar 29-41% sampai 2030.
Usaha mencegah kerusakan keanekaragaman hayati juga penting kita usahakan, oleh karena laporan World Wildlife Fund mengungkapkan bahwa sejak 1970 hingga sekarang, manusia telah melenyapkan 60% species dari perbendaharaan kekayaan alam hayati akibat deforestasi, poaching, land use dan invasi species asing. Oleh karena tanah-air Indonesia kaya dengan species yang mengisi keanekaragaman hayati, maka sangatlah penting agar kita tidak memperparah kerusakan alam hayati.
Dari uraian ini kentaralah bahwa peranan Kalimantan Selatan, bahkan seluruh alam bumi Pulau Kalimantan ini, sangatlah penting dalam memelihara keutuhan dan kelestarian sumber daya alam serta ekosistem lahan basah dengan segala isinya agar dapat ikut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat global umumnya di-tengah-tengah ancaman lingkungan global, berupa perobahan iklim dan kepunahan keanekaragaman hayati. Peranan para cendekiawan dan dunia universitas sangatlah penting untuk bisa mengembangkan fungsi alami ekosistem dan sumber daya alam tanah-air kita menjadi sumbangan nyata bagi keberlanjutan pembangunan untuk kemajuan bangsa dan tanah-air.
Jakarta, 15 November 2018
Emil Salim
Selengkapnya pada http://bit.ly/2DHpnTt